Kehamilan dan Adopsi Anak Di Masyarakat
Adopsi anak dan kehamilan
Adat atau budaya kadang-kadang memiliki keunikan yang
mungkin sulit diterima akal sehat. Pada mastarakat Jawa misalnya, pasutri yang
sudah lama menikah namun belum memiliki anak atau keturunan, sering dianjurkan
untuk mengangkat atau mengadopsi anak
agar pasutri tersebut bisa punya anak.
Mengdopsi seorang anak ? Betul. Budaya mengadopsi bayi atau anak
sering dianggap sebagai salah satu cara bagi pasangan suami-istri agar segera hamil dan punya anak. Mengadopsi
anak atau bayi disini berarti ikhlas dan rela menganggap anak tersebut seakan-akan
sebagai anak kandungnya sendiri, mendidik, merawat dan membimbingnya seolah ia adalah
anak biologisnya.
Bagi yang awam dengan budaya Jawa, cara kehamilan dengan mengadopsi anak ini mungkin hanya dianggap sebagai
mitos semata. Tapi cara ini masih banyak yang menerapkannya terutama di
desa-desa pelosok Jawa. Di pedesaan, cara tersebut banyak yang percaya keampuhannya,
setidak-tidaknya oleh sekelompok masyarakat.
Bagi kita, rasanya sulit menemukan kaitan kausalitas antara mengadopsi anak dengan terwujudnya
keinginan agar
segera hamil. Mengadopsi anak merupakan fenomena sosial, sedangkan
kehamilan adalah fenomena biologis. Satu-satunya “kemungkinan yang mungkin”
masuk akal adalah bahwa dengan meng-adopsi anak maka secara psikologis pasangan
tersebut jadi lebih siap fisik dan mental untuk menerima kelahiran seorang
anak.
Syarat adopsi anak yang tidak ribet
Saya pribadi, lebih suka melihat potret adopsi anak pada
masyarakat Jawa tersebut dalam konteks berbagi. Yaitu berbagi kebahagiaan,
berbagi berkah, berbagi rejeki dari keluarga yang mampu secara ekonomi kepada
keluarga yang kurang mampu. Bagi saya konteks berbagi lebih “relevan” dalam menjelaskan
fenomena adopsi anak di masyarakat.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa pihak keluarga yang
mengadopsi anak biasanya memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi dari keluarga
yang anaknya diadopsi orang lain. Dengan mengadopsi anak, pihak yang mengadopsi
berharap kebahagiaan yang selama ini diperolehnya bisa bermanfaat juga untuk orang
lain. Mereka bisa merawat, mendidik, dan menyekolahkan anak adopsi itu sampai
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Berbeda dengan adopsi anak di jaman modern yang banyak
dengan syarat syarat adopsi, adopsi bayi atau anak dalam masyarakat Jawa lebih
sederhana. Adopsi tersebut dilakukan antar keluarga dekat yang saling mengenal
satu sama lain. Umumnya tanpa syarat adopsi yang “ribet”.
Orang tua kandung si anak bisa sewaktu-waktu menengok
anaknya manakala kangen atau rindu. Adopsi bayi atau anak antar keluarga dekat
juga untuk menghindari putusnya tali keluarga atau tali silaturahmi antara anak
dan orang tua kandung.
Akhirnya, menanam kebaikan pada sesama selalu berbuah manis jika saatnya tiba. Termasuk menanam kebaikan dengan berbagi. Siapa tau, dengan berbuat baik pada sesama, maka akan ada banyak orang yang mendoakan agar keluarga yang mengadopsi anak pun segera punya anak. Jika satu saja doa agar segera punya anak dari orang-orang itu dikabulkan Tuhan, maka mudahlah bagi pasangan tersebut untuk hamil dan punya anak. Bukankah Tuhan Maha Berkuasa lagi Maha berkehendak ? Itulah mungkin filosofi di balik fenomena adopsi bayi atau anak di kalangan masyarakat Jawa.